MENEBAR BAKTERI KEBANGSAAN

  • PDF

 

SKYLINE IV

MENEBAR BAKTERI KEBANGSAAN

Dr. Kolier Heryanto.

Selama tiga hari melakukan perjalanan dengan ilmuwan dari perguruan tinggi terkemuka di Bogor sungguh luar biasa, dan tidak sama dengan mainstream ilmuwan yang acapkali berjumpa di kampus-kampus.

Sedikitnya ada dua hal menarik yang dapat diceritakan. Pertama, ajakan kepada pimpinan perguruan tinggi untuk menyusun mandat kebangsaan yang berkearifan lokal. Kedua, ajakan untuk memanfaatkan ilmu untuk solusi kebangsaan.

Yang pertama merupakan bentuk kegelisahan menjauhnya industri sumber daya manusia tertinggi (baca perguruan tinggi) dengan manfaat dan peran nyata pembangunan.

Potret hari ini berilustrasi bahwa pembangunan nasional tidak beriringan dengan dunia pendidikan tinggi yang sedang mengejar cita-citanya sendiri sebagai World Class University. Sementara potensi daerah yang terhampar luar biasa tidak terurus, dan membuat sebagian besar masyarakatnya seperti tidak memiliki access to justice dan miskin.

Fakta itu, paling tidak yang dirasakan oleh Rektor UTM (Universitas Trunodjojo Madura). Karenanya ia bersama pimpinan lainnya menantang untuk mengambil peran kebangsaan menjadi the dream team dengan menjadikan univesitasnya sebagai mandatory university yang bernurani kebangsaan.

Pimpinan universitas ini sangat berkeinginan untuk megembangkan UTM beriringan dengan pembangunan industri Gas Alam, Jagung dan Garam yang menjadi potensi utama pulau Madura. Jika terwujud maka akan terjadi full employment, percepatan pembangunan, peningkatan PAD, dan kesejahteraan masyarakat Madura. Sejalan dengan ini akan menguatkan struktur industri nasional, dan ketahanan pangan, khususnya garam dan jagung.

Permasalahanya UTM yang telah mengabdi 17 tahun masih berstatus PTN Baru, yang ketat degan berbagai aturan yang tidak memungkinkan untuk melakukan peran mandatori kebangsaan seperti itu.

Lalu apakah gagasan besar kebangsaan UTM ini harus dipeti-es-kan sampai wahyu langitan turun dengan sendirinya untuk mencabut jerat peraturan, atau regulations trap itu. Tentu tidak, informasi awal ini, dan gerak the dream team untuk meyakinkan otoritas dan dewa regulasi tentu akan mempercepat turunnya wahyu mandatori kebangsaan itu. Karena otoritas memiliki mata hati bahwa sejatinya hanya seperti yang diinginkan Rektor UTM, maka perguruan tinggi dapat mengembangkan ilmu dan riset terapan serta melakukan pengabdian pada masyarakat dan daerah, yang pada waktunya nanti menjadi bagian World Class University.

 

Yang kedua merupakan bentuk kegelisahan ilmuwan kampus untuk mengambil peran kebangsaan dengan keilmuan yang dimiliki.

Potret ilmuwan kampus menunjukkan bahwa pada umumnya mereka terjebak dalam rutinitas jabatan, mengajar, dan menyiapkan jurnal internasional terindeks Scopus. Box traps, atau jerat box ini membuat ilmuwan kampus sulit mengambil peran kebangsaan dengan ilmunya. Apalagi dalam banyak hal pemerintah tidak mudah untuk memberikan dukungan atas karya para ilmuwan kampus untuk dikembangkan menjadi produk manufaktur yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Dalam kondisi ini, kita bersyukur ada ilmuwan kampus yang berani berfikir dan keluar dari box itu. Mereka, misalnya, dengan ilmunya membangun manufaktur bio sains yang menghasilkan vaksin dan bakteri, dengan dua tujuan, yaitu menjaga ketahanan pangan nasional, dan menjaga kualitas lingkungan agar tetap bersih dan tidak berbau. Ketahanan pangan ini utamanya terus berjalannya industri peternakan, dan kualitas lingkungan untuk membuat sampah dan sungai (selokan) bersih dan tidak berbau.

Produk itu menjadi kebutuhan pokok masyarakat, yang pasarnya baik lokal dan ekspor sangat besar. Yang mengejutkan adalah bahwa produk ini merupakan monopoli dunia, karena raw material-nya hanya ada di tanah air.

Manufaktur yang dibangun itu dilengkapi laboratorium yang dapat dikerjasamakan dengan perguruan tinggi dan user.

Apa yang dilakulan oleh para ilmuwan ini tentu tidak menghasilkan tulisan di jurnal internasional berindeks Scopus, tetapi telah mampu menciptakan menara air ilmu yang bermanfaat, dan mengalir ke dalam institusi perguruan tinggi dan individu peneliti, serta dapat mengambil peran kebangsaan dalam ketahanan pangan, dan perbaikan kualitas lingkungan.

Karya kebangsaan para ilmuwan ini seharusnya oleh otatitas pendidikan tinggi diberi penghargaan abadi setara (sedikitnya) menulis 10 jurnal internasional per tahun, agar tidak terjerat dalam kesulitan kenaikan pangkat. Dengan demikian, ilmuwan kampus berani melangkah keluar dari box untuk menebar peran kebangsaan, dengan tetap tunduk pada pertauran.

Untuk itu agar otoritas tidak hanya mendengar cerita, sebaiknya segera menyusun jadwal kunjungan. Sehingga tidak tertinggal untuk bersama menebar bakteri kebangsaan (KH, 14/07/18).

Tulisan ini untuk menghormati inspirasi peran kebangsaan yang diteladani,

Prof. Dr. Asep Saefuddin

Dr. Muh. Sjarief

Dr. Widiyanto Dwi Suryo

Dr. Kamaluddin Zarkasi

Dr. Ririen Prihandarini

Share this post

Add comment


Security code
Refresh